Melihat hal itu, Arif meminta pemerintah memastikan sistem kepegawaian nasional berjalan sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 2014. Sebab, beleid tersebut hanya mengenai jenis kepegawaian PNS dan PPPK.
Paryono menjelaskan, tenaga honorer di lingkungan pemerintahan yang teridentifikasi saat ini misalnya adalah guru dan tenaga administrasi. Ia menyatakan, pegawai honorer dan PPPK itu pun tak bisa disamakan meskipun diangkat untuk waktu tertentu.
”Beda, kalau tenaga honorer itu gajinya nggak jelas. Kalau PPPK, gajinya disetarakan dengan PNS,” tuturnya.
Ia menambahkan, khusus PPPK telah diatur secara resmi dalam PP Nomor 49 Tahun 2018. Dalam PP tersebut, diatur tentang manajemen PPPK, di antaranya terkait penetapan kebutuhan, pengadaan, penilaian kinerja, dan pengembangan kompetensi. ”Sementara hal tersebut tidak diatur untuk tenaga honorer.”
Meskipun berada di lingkungan pemerintahan, Paryono mengatakan keberadaan para tenaga honorer itu walaupun banyak tapi tak terdata di BKN. ”Yang ada di BKN adalah data PNS, ke depan termasuk PPPK yang sebentar lagi diangkat, yang kemarin sudah lulus tes,” katanya.
Pasal 96 PPNomor 49 Tahun 2018 yang terdiri atas tiga ayat melarang Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN. Dalam ayat dua tertulis, larangan itu berlaku pula bagi pejabat lain di lingkungan instansi pemerintahan yang melakukan pengangkatan pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK.
Jika ada pelanggaran, pada ayat ketiga dijelaskan sanksi akan diberikan kepada PPK atau pejabat tersebut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada Oktober 2018, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Muhadjir Effendy mengingatkan para kepala sekolah negeri untuk tidak lagi merekrut guru honorer.
Perekrutan guru honorer, menurutnya, melanggar peraturan pemerintah. Muhadjir mengatakan, salah satu permasalahan yang sedang diselesaikan Kemendikbud adalah guru honorer di sekolah negeri yang diangkat hanya dengan surat keputusan kepala sekolah.