Oleh : Daryanto
” BUKAN ingin menggurui. Hanya, coba renungkan dengan pikiran yang jernih, makna dari nasehat ”Ojo wani-wani karo wong kang Nduwe Kuasa, Nduwe Duik lan wong Bento “, sungguh sebuah petuah atau filsafat yang sarat akan makna. Kalau tidak percaya, silahkan dicoba untuk berani sama orang atau kelompok yang mempunyai kekuasaan, atau berani sama orang yang kaya, atau mencoba berani melawan orang gila. ”
DALAM sebuah obrolan santai sekitar 15 tahun lalu, masih lekat diingatan pesan salah seorang teman, “Yen wani aja wedi-wedi, yen Wedi aja wani-wani” ( kalau berani jangan takut-takut, kalau takut jangan sok berani ). Saya memaknai pesan itu, bahwa untuk menentukan sikap atau pilihan hidup kita harus bisa mengukur kemampuan diri.
Jika memang mampu, kita harus melangkah dan jangan setengah-setengah. Sebaliknya, setelah melalui berbagai pertimbangan kita tidak mampu dan menimbulkan perasaan takut, jangan sekali-sekali untuk berani. Karena akibatnya sudah bisa ditebak, kita akan menemui jalan berliku. Celakanya kita akan menghadapi situasi yang tragis, atau lebih ekstrimnya sama saja kita bunuh diri.
“Yen wani aja wedi-wedi, yen Wedi aja wani-wani”, memang sebuah filsafat Jawa yang sarat dengan makna sebagai tuntunan hidup kita dalam memilih jalan hidup. Hanya belajar dari pengalaman, sebuah pelajaran yang juga penuh sarat makna, adalah ” Ojo wani-wani karo wong Nduwe Kuasa, Nduwe Duik lan wong Bento ” (Jangan sekali-sekali kita berani dengan orang yang mempunyai kekuasasan, mempunyai uang (kaya) dan orang gila).
Bukan ingin menggurui. Hanya, coba renungkan dengan pikiran yang jernih, makna dari nasehat ”Ojo wani-wani karo wong kang Nduwe Kuasa, Nduwe Duik lan wong Bento “, sungguh sebuah petuah atau filsafat yang sarat akan makna. Kalau tidak percaya, silahkan dicoba untuk berani sama orang atau kelompok yang mempunyai kekuasaan, atau berani sama orang yang kaya, atau mencoba berani melawan orang gila.
Ketika dalam sebuah kelakar bersama teman-teman, berbagai tanggapan muncul atas petuah ” Ojo wani-wani karo wong kang Nduwe Kuasa, Nduwe Duik lan wong Bento ” itu. Ada yang menghubungkan dengan situasi menjelang Pilkada seperti saat ini, sehingga petuah itu dimaknai sebagai sebuah petuah untuk menakut-nakuti orang.
Sebaliknya, kebanyakan membenarkan, bahwa petuah itu benar adanya berdasarkan kacamata empiris yang ada selama ini. Belum ada ceritanya, seseorang atau kelompok yang memenangkan sebuah “pertarungan” tatkala melawan orang atau kelompok yang sedang mempunyai kekuasaan. Atau kalau ingin mencoba atau mematahkan petuah ini, silahkan dicoba. Kalaupun jika akhirnya menyesal di kemudian hari, itu persoalan yang harus ditanggung masing-masing individu.
Lantas kenapa kita ojo wani-wani orang yang mempunyai duit (uang ) ? Sulit untuk menjelaskan pertanyaan ini, Karena ukurannya memang sangat relatif. Uang memang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya butuh uang bukan ?
Uang merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, pakaian, dan kesehatan. Dengan uang, seseorang dapat membeli barang dan jasa yang diperlukan untuk bertahan hidup dan menjalani kehidupan sehari-hari.
Sebuah pengalaman nyata, uang dapat mempengaruhi banyak hal. Meski pendapat ini juga dibantah, bahwa sejatinya kebenaran adalah yang paling berpengaruh dari semuanya. Hanya, ingat di beberapa peristiwa seseorang menghabiskan uang banyak demi untuk membuat opini, maupun untuk mendukung pendapat, yang pada ujungnya untuk meraih kemenangan. .
Meski tidak ada teori yang mendukung, uanglah yang menang dalam jangka pendek, juga dalam jangka sedang maupun dalam jangka panjang. Kalaupun pendapat ini dibantah, boleh dan sah. Hanya perlu direnungkan sangat tidak baik melawan orang atau kelompok yang mempunyai uang.
Terakhir, ojo wani-wani karo wong bento (gila). Dalam semua hal, sebaiknya kita jangan berani sama orang gila, jika kita tidak ingin menemui jalan berliku. Karena dimata hukum orang gila tidak bisa dihukum. Dengan kata lain orang gila itu dalam posisi benar atau salah tetap menang. Hal ini kalau tidak salah bisa dilihat dan dibaca pada pasal 44 ayat 1, 2 dan 3 KUHP. Dalam konteks ini, jangan disamakan antara orang bento ( gila ) dengan orang mbento (pura-pura gila) lho.
Kesimpulannya, kalau berani jangan sekali-sekali timbul perasaan takut di diri kita. Tetapi kalau takut, janganlah memaksakan diri untuk berani. Jika memang setelah dilakukan berbagai pertimbangan, bahwa berani sama orang mempunyai kuasa, uang dan orang gila itu membahayakan, ya jangan dilakukan.
Kalau memang memilih untuk berani, hendaknya tetap menggunakan perhitungan dan harus percaya diri untuk berani. Sekali lagi, ada dua pilihan dalam membuat keputusan dalam hidup ini. Kalau takut dan membahayakan, seyogyanya cepat untuk menyelamatkan diri. Tetapi kalau memang berani, gunakan otak, jangan sebaliknya menggunakan otot untuk mengambil sikap berani tersebut. ***