Dening : Daryanto
” TIDAK hanya terbatas untuk penguasa ajaran lamun sira mandi aja mateni, melainkan juga berlaku untuk banyak profesi. Ini akan lebih mengena dengan ajaran lamun siro landep, ojo natoni (jika engkau tajam jangan menyakiti). ”
DALAM berbagai kesempatan saya sering membaca dan memahami tulisan tentang ajaran Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus, diantaranya yen sira landep aja natoni, lamun siro pinter ojo minteri.
Kalau ada ajaran lamun siro “kethul” ojo minteri, ini yang saya harus mencari tahu maknanya. Berbagi literatur coba saya cari tentang ilmu atau ajaran itu ? Siapa yang mengajarkannya ?
Hingga akhirnya, karena tidak berhasil menemukan literatur tentang falsafah itu, saya memberanikan mengambil kesimpulan, bahwa ajaran itu hanyalah sindiran atau kalau dalam bahasa Jawa, kalimat lamun siro “kethul” ojo minteri tersebut, hanyalah pasemon (nyemoni), atau sindiran.
Kethul itu bisa saja dimaknai tidak sebatas kepandaian, melainkan dimaknai dalam hal potensi yang sebenarnya sedang-sedang saja, namun diupayakan sebagai potensi yang luar biasa.
Kalau falsafah lamun siro pinter ojo minteri sudah jelas arahnya. Dimana, kurang lebih maknanya, kalau kita diberi nilai plus berupa kepandaian jangan menggunakan kepandaian itu untuk ngakali orang (minteri), demi kepentingan pribadi maupun kelompok.
Bagaimana kalau ada ajaran lamun siro “kethul” ojo minteri ? Rasanya, secara logika hampir tidak mungkin, wong ora kethul yang berarti bodho kok mau minteri atau dipakai modal untuk ngakali orang.
Hanya, meski tidak masuk secara logika, tampaknya bisa saja ajaran itu diterapkan di tahun politik. Menjelang Pilkada untuk menentukan siapa yang akan jadi pemimpin di suatu wilayah, misalnya.
Di tahun politik, tidak jarang, seseorang atau kelompok yang sengaja mengeksplor potensi atau kekuatan yang sebenarnya tidak seberapa sehingga menjadi sesuatu yang luar bisa. Semua itu demi untuk menciptakan bargaining.
Cara mengeksplore potensi itu dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui media, medsos dan bahkan mensosialisasikan dari mulut ke mulut. Meski sebenarnya upaya itu sia-sia, karena saat ini sejatinya rakyat paling jelata pun sudah mudheng dengan situasi.
Rakyat tidak mudah dibawa dalam kondisi yang sebenarnya terkesan terlalu dibesar-besarkan. Karena kalau boleh agak nyelekit, rakyat sekarang itu akan lebih melihat realita, tentang karya seseorang, termasuk karya seorang pemimpin dalam membangun daerah atau wilayah yang ia pimpin. Dalam bahasa keren, rakyat akan lebih terhipnotis dengan tilak atau tipak kerja nyata seseorang ( termasuk didalamnya pemimpin).
Misalnya, realitas pembangunan jalan yang luar biasa tidak akan bisa terkalahkan dengan opini yang dibuat seseorang atau kelompok, yang mengatakan bahwa masih mempunyai kekuatan (jaringan) besar dan akan membangun jalan yang lebih dari luar biasa.
Dari pandangan panjang lebar itu, akhirnya saya sadar, bahwa dalam konteks politik sah-sah saja jika seseorang atau kelompok berusaha mengeksplor hal-hal yang baik, dan meminimalisir hal-hal negatif.
Menyikapi hal itu, seyogyanya, bagi seseorang yang mempunyai potensi memimpin dan jelas-jelas mempunyai tipak positif hasil kepemimpinannya, tetap landhep ing sasmita. Rendah diri dan jangan mudah terprovokasi.
Berpeganglah pada falsafah ajaran, lamun sira banter aja nglancangi. Artinya, jika selama ini mempunyai tilak banter (bagus), hasil kerja yang murakabi bagi masyarakat banyak, jangan lantas timbul sifat congkak dan merasa segala-galanya.
Karena sejatinya sifat yang seperti ini merupakan awal dari kehancuran atau kerendahan dari seseorang yang masuk golongan banter. Seyogyanya, Air Mengalir saja, bahasa bijaknya.
Dengan kata lain, lamun siro kebat, ojo nglancangi (meski kamu cepat, jangan mendahului). Jangan ndisiki kersa, karena memang diatas langit masih ada langit. Dan yakinlah, bahwa sejatinya orang yang sering ndisiki (nglancangi) kerso itu sungguh tidak baik.
Begitu juga, lamun sira mandi aja mateni. Maknanya kurang lebih jika kamu memang sedang mempunyai kekuasaan, yang bisa mengatur dan mengkondisikan banyak hal, tetap saja jangan sampai membunuh nasib seseorang.
Tidak hanya terbatas untuk penguasa ajaran lamun sira mandi aja mateni, melainkan juga berlaku untuk banyak profesi. Ini akan lebih mengena dengan ajaran lamun siro landep, ojo natoni (jika engkau tajam jangan menyakiti).
Tajam itu tidak hanya dimiliki oleh seseorang yang mempunyai kuasa, melainkan tajam bisa saja dimiliki oleh profesi bahkan seseorang yang pandai ucapan lisannya.
Jika engkau seorang yang pandai menulis, jangan sampai ketajaman tulisan itu menyakiti seseorang. Jika engkau tajam dalam membuat analisa, jangan sampai analisa itu menyakiti apalagi membunuh seseorang.
Ingat ramalan Ronggowarsito, amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi. Melu edan ora tahan, yen tan melu nglakoni edan ora keduman milik. Begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada
Untuk itu, berpeganglah dengan ketekunan yang menjadi dasar untuk mencapai tujuan. Sebab, sejatinya siapa yang bersungguh sungguh bakal mendapatkan. Atau sing sapa temen, bakal tinemu atau tumama. ***