” YUDHISTIRA memang tidak saja menjadi panutankeempat adik-adiknya, melainkan juga menjadi harapan bagi seluruh warga kerajaan Amarta untuk membawa perubahan di segala bidang. Termasuk Yudhistira diharapankan bisa menata dan memilih para punggawa kerajaan, menyusul memang saat ini sedang ada acara penataan perdana menteri dan punggawa kerajaan demi kemajuan negara Amarta. ”
SEBAGAI Pandawa yang tertua, Yudhistira memang tidak saja menjadi panutankeempat adik-adiknya, melainkan juga menjadi harapan bagi seluruh warga kerajaan Amarta untuk membawa perubahan di segala bidang. Termasuk Yudhistira diharapankan bisa menata dan memilih para punggawa kerajaan, menyusul memang saat ini sedang ada acara penataan perdana menteri dan punggawa kerajaan demi kemajuan negara Amarta.
Seluruh warga Amarta sudah sangat magfum jika Yudhistira sebagai sosok pemimpin yang berbudi luhur, tidak mau menyakiti orang lain, penyabar, tak mau mendendam, membalas keburukan dengan kebaikan, sopan santun juga pantang berbohong.
Justru sosok yang seperti itu yang membuat para warga terutama yang SDM –nya mumpuni menaruh iba menyusul ada upaya dari banyak pihak yang mendesak, menekan, arogan disaat Yudhistira akan menata perdana menteri dan punggawa kerajaan.
Bahkan seorang Bagong yang notabene hanyalah sosok seorang batur sangat paham dengan kondisi Bendara, yakni sang Bos tengah “tidak berdaya” dan bingung akibat ditekan banyak pihak, sehingga dibuat tidak berdaya, tidak bisa leluasa memilih para punggawa yang akan membantu dirinya dalam menjalankan pemerintahan.
‘’Kasihan Bos Yudhistira Kang Gareng, mau menata pejabat saja harus menghadapai tekanan banyak pihak. Ibaratnya bisa-bisa nantinya gupak pulute tetapi tidak ikut makan nangkanya. Dan celakanya lagi, sudah dalam kondisi “tidak berdaya”, masih saja dicurigai akan main dalam penataan pejabat itu,’’ keluh Bagong kepada kakak tertuanya Gareng.
‘’Itu khan masih kabar burung Gong, jangan ditelan mentah-mentah,’’ Gareng menasehati
‘’Kabar burung yang mendekati kebenaran, Kang,’’ Bagong tetap bersikukuh dengan pendapatnya lantaran memang suara di luaran sudah sangat santer.
‘’Khan sudah ada upaya cerdas dari Bos Yudhistira, yakni dengan mendatangkan Tim penguji dari Kayangan untuk menguji para calon pejabat. Tujuan mulianya dengan mendatangkan Tim itu supaya dalam menempatkan calon pejabat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya,’’ bantah Gareng.
Mendapat penjelasan itu Bagong segera diam, dalam hati dia angkat topi dengan analisa dari kakaknya (Gareng) tentang Bos Yudhistira yang saat ini tengah dalam kondisi tertekan. Ukurannya, dengan mendatangkan Tim dari Kayangan, berarti ada Something. Bisa jadi semacam Sang Bos tengah membuat atau menciptakan perisai untuk menghadapi tekanan itu.
Dalam hati dengan terus terang Bagong juga agak prihatin. Selama ini, karena bendaranya yang memang baik hati, sering kali adik-adiknya (Bima, Janaka, dan Nakula maupun Sadewa), termasuk dirinya dan kakak-kaknnya (Petruk dan Gareng) sering kali menjadi korban. Tidak jarang Mereka kerap geram karena Sang Raja Yudhistira selalu mengalah dan rela-rela saja disakiti oleh Kurawa, saudara sepupu mereka yang terus menerus jahat, dengan alasan membela Dharma (kebaikan).
Celakanya, keempat adik-adiknya terikat peraturan bahwa tak boleh bertindak tanpa persetujuan Yudhistira. Jangankan bertindak, saran usul pendapat saja tidak pernah diindahkan karena memang situasi dan kondisi yang ada di Amarta.
Sehingga dalam banyak hal sering keempat saudaranya terkungkung oleh Yudhistira yang selalu memegang darma dengan saklek. Termasuk Bagong sendiri juga tidak akan pernah melupakan sebuah peristiwa yang saat ini terjadi.
Yakni, Yudhistira yang tengah datang ke kebun buah mangga, empat adik-adiknya terutama Bhima yang doyan makan sangat ngiler untuk memetik mangga. Mereka minta izin ke Yudhistira untuk memetiknya. Namun, Yudhistira mengatakan kalau makan buah harus rame-rame, dengan saudara sepupu mereka juga, 100 kurawa.
Belum sempat ambil mangga menunggu persetujuan Yudhistira, para Kurawa datang dan langsung memanjatnya pohon mangga rame-rame dan memakanya di atas pohon. Kelima Pandawa tentu saja kepengen dan tentunya berhak mencicipi manisnya mangga. Dan, Bhima yang paling ngiler minta kepada Kurawa.
Bukanya buah yang didapat namun biji mangga sisa yang dilemparkan ke Pandawa. Bhima geram, Ia bermaksud menggoyangkan pohon dan menjantuhkan para Kurawa yang sudah jahat sejak kecil. Namun, Yudhistira mencegah. Ia memilih mengalah dan tak membalas perlakuan mereka, kemudian pergi.
Baru ketika Dursasana menghina Pandu, ayah mereka. Yudhistira mengizinkan Bhima memberi sedikit pelajaran. Setelah itu, Kurawa dihukum. Pandawa juga dihukum. Yudhistira yang baik hati dan suka mengalah itu, menyebabkan kesengsaraan buat adik-adiknya.
Ewuh Aya
Seolah tahu apa yang sedang berkecamuk di pikiran Bagong, Gareng akhirnya memberi pitutur panjang lebar tentang situasi yang tengah dihadapi Sang Bos Yudhistira. Bahwa saat ini Sang Bendara tengah menghadapi situasi psikis “ewuh aya ing pambudi”.
Yakni situasi yang sulit untk menentukan pilihan tindakan mana yang akan diambil. Dan memang itu terjadi dalam kehidupan di dunia ini, acap kali manusia dihadapkan pada situasi yang serba sulit sehingga membuat hatinya menjadi bergolak.
Dalam Serat Kalatidha yang ditulis oleh Ronggowarsito, juga sudah tersurat, “Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi. Melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni boya keduman melik, kaliren wekasanipun. Dilalah kersane Allah, sabegja-begjane wong kang lali, luwih begja wong kang eling lawan waspada.”
Situasi bak makan buah simalakama, dimakan bapak mati tidak dimakan ibu mati. Ibarat “maju kena mundur kena”. Dan itulah yang dimaksud dengan kalimat “ewuh aya ing pambudi”. ‘’Jadi itu Gong situasinya, bahwa Bendara Yudhistira sedang dihadapkan oleh pilihan yang sama-sama sulit, karena sama-sama menanggung resiko yang berat.’’
Sehingga, Gareng masih menasehati Bagong adiknya, untuk menetukan pilihan di situasi yang sulit seperti saat ini pilihannya akan terlihat karakter dari seorang pemimpin. Dan kondisi itu diibaratkan Bendara Yudhistira tengah mendapat ujian berat dalam memimpin Negara Amarta. Agak sedikit lega,Bagong akhirnya ngeloyor pergi meski dengan seribu pikiran yang masih berkecamuk di pikirannya. (Tancep Kayon)