‘’ ZAMAN memang sudah ndak karuan thole Bagong. Ya baiknya tetap eling lan waspada. Jangan tergiur dengan petuah nek ora ngedan ora keduman,’’ begitu Semar menasehati Bagong, ketika anak bungsunya itu curhat banyak hal. Diantaranya soal banyaknya sosok kritis menyoroti sesuatu yang dianggapnya tidak adil, namun sudah lupa dengan aturan yang ada. “
MESKIPUN Bagong tidak memiliki kekuatan sakti seperti tokoh wayang lainnya, sosok lurah yang sangat merakyat dan hidup bersama rakyat kecil itu, belakangan ini mengaku gerah dan akhirnya memberanikan diri untuk curhat kepada ayahnda Rama Semar.
‘’Zaman memang sudah ndak karuan thole Bagong. Ya baiknya tetap eling lan waspada. Jangan tergiur dengan petuah nek ora ngedan ora keduman,’’ begitu Semar menasehati Bagong, ketika anak bungsunya itu curhat banyak hal. Diantaranya soal banyaknya sosok kritis menyoroti sesuatu yang dianggapnya tidak adil, namun sudah lupa dengan aturan yang ada.
Panjang lebar Bagong yang mempunyai banyak nama ( diantaranya Astrajingga, Caruh, Cepot, Cepot, dan Prabu Kalasereng), curhat dengan keadaan yang sulit untuk dipetani, utamanya yang benar dan siapa menganggap tidak benar.
Sosok Bagong yang kerap memberikan nasehat-nasehat bijak kepada ksatria yang ia asuh, merasa prihatin dengan zaman dimana netizen memposisikan bahwa yang paling benar.
‘’Itu lho Rama Semar, sekarang itu kok yang namanya netizen seolah-olah menjadi hakim yang paling adil di media sosial. Netizen berhak menilai salah atau benarnya. Termasuk netizen tidak peduli dengan proses hukum yang ada dan sedang berlaku,’’ ungkap Bagong mengawali curhatannya.
Tanpa memperdulikan reaksi ayahnya, Bagong melanjutkan curhatannya. Dikatakan, ada kesan netizen menciptakan sebuah istilah baru yang disebut dengan trial by the netizen.
“Bukankah salah atau benar itu hanya boleh ditentukan oleh Pengadilan melalui tahapan proses dari Aparat Penegak Hukum terlebih dahulu,’’ lanjut Bagong.
Yang agak repot lagi, lanjutnya, saat ini itu sulit untuk membedakan, suara netizen yang ada itu pribadi atau mewakili profesi. Faktanya, seseorang pilah-pilah untuk membuat status maupun ngeshare link berita yang ada.
Jika ada link berita yang “mengadili” seseorang (termasuk didalamnya pemimpin), secepat kilat orang itu menjadikannya di status WA. Bahkan ada beberapa yang ngeshare di beberapa grup WA. ‘’Ini benar-benar luar biasa,’’ imbuh Bagong.
Minta Petunjuk
Meski Semar tidak serta merta menanggapi curhatan itu, Bagong tetap minta petunjuk kepada ayahnya, yang sebenarnya merupakan titisan dari Sang Dewa Ismoyo itu.
Merasa perlu untuk memberi petuah, Semar pun akhirnya buka suara yang berisikan petunjuk kepada anak bungsunya itu. ‘’Kalau boleh saya merangkum, kamu le Bagong, posisikan dirimu bahwa jangan langsung begitu saja dengan statemen orang, atau kelompok yang sebenarnya tidak pas, bahkan ekstrimnya dalam posisi sedang menghasut,’’ papar Semar.
‘’Bukankah orang atau kelompok itu mempunyai niat baik mengkritisi masalah-masalah yang dinilainya tidak pas, atau bahkan berbau tidak beres,’’ bantah Bagong.
‘’Ya mestinya orang atau sekelompok orang itu tidak lantas menuduh atau tepatnya mengadili pihak-pihak yang seolah-olah bersalah. Padahal, salah dan benar itu mestinya setelah pengadilan memutuskan,’’ Semar menimpali. ‘’Artinya mestinya orang atau sekelompok orang itu tidak lantas mempunyai legitimasi mengadili.”
Semar lantas mengingatkan wejangan dari Mbah KH Maimoen Zubair kepada Bagong ( artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Ini 9 Wejangan Mbah Moen ).
Diantaranya, luwih becik dadi wong bener senajan ora pinter (lebih baik menjadi orang “benar/lurus” meskipun dia tidak “pintar/cerdas/intelektual.
Ana sing luwih prayoga yaiku dadi wong pinter sing tansah tumindak bener (ada yang lebih hebat/bagus, yaitu menjadi orang yang “pintar/cerdas/intelektual” yang selalu berbuat “benar/lurus”).
Minterno wong bener kuwi luwih gampang tinimbang mbenerake wong pinter (Membuat “pintar/cerdas/intelektual” orang yang “benar/lurus” itu lebih mudah daripada membuat “orang pintar/cerdas/intelektual” menjadi orang yang “benar/lurus”)Mbenerake wong pinter, kuwi mbutuhake beninge ati, lan jembare dodho….” (Membuat orang “cerdas/pintar/intelektual” menjadi orang yang “benar/lurus”, itu membutuhkan kejernihan/kebeningan hati dan keluasan jiwa). *)