Oleh : Ki Daryanto
” SEMAR itu dijuluki Badranaya. Badra berarti rembulan, naya artinya wajah atau nayantaka, sedangkan taka berarti pucat. Dengan demikian, Semar memiliki watak seperti rembulan dengan wajah pucat. Artinya, Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Tetapi kenapa belakangan ini Sang Pamomong tidak lagi berwajah pucat ? “
PRABU Yudistira alias Darmawangsa dibuat gundah, di jaman edan seperti saat ini, dimana banyak orang yang tidak dapat berpikir secara waras, tidak mempunyai pertimbangan hati nurani, sehingga acap kali sering menimbulkan “keonaran” di masyarakat, membuat penampilan dan sifat Ki Semar Sang Pamomong dan anak-anaknya berubah. Dan yang paling mencolok, saat ini Semar tidak lagi berwajah pucat.
Padahal, menurut pakem, Semar itu dijuluki Badranaya. Badra berarti rembulan, naya artinya wajah atau nayantaka, sedangkan taka berarti pucat. Dengan demikian, Semar memiliki watak seperti rembulan dengan wajah pucat. Artinya, Semar tidak mengumbar hawa nafsu.
Hanya, termasyhur sebagai raja yang ber- ludiro seto – berdarah putih, Yudhistira tidak lantas memanggil tindakan yang tolol untuk mengingatkan Semar dan anak-anaknya. Jangankan kepada Semar, raja yang mempunyai julukan Darmawangsa itu sepanjang hidupnya tidak pernah memusuhi dan dimusuhi orang (Ajatasatru). Meski sifat yang ditunjukan Punakawan belakangan ini membuatnya gundah.
Dan tampaknya, kegundahan Puntadewa itu “dibaca” oleh mertuanya, Prabu Drupada raja Negara Pancala. ‘’Ananda mestinya segera menasehati Semar dan dan anak-anaknya, karena kabar terakhir sudah runyam,’’ petuah Drupada.
Diam seribu bahasa Yudhistira, namun tidak demikian bagi Drupada yang terus membeberkan banyak tentang kelakuan Puntadewa yang belakangan ini sudah dilaporkan oleh orang ke Dewan Pengadilan Kadewatan.
Diungkapkan Drupada, dalam sepekan ini ramai diperbincangkan khalayak, soal honor Punakawan yang menjadi wakil para wayang, sebagai narasumber sudah sampai di meja Dewan Pengadilan Kadewatan.
‘’Saya tahu pasti, hari, jam bahkan siapa yang menerima laporan. Yang jelas persoalan narsum Punakawan sudah sampai di meja Dewan Pengadilan Kadewatan. Ini bahaya dan bakal melelahkan,’’ imbuh Drupada.
‘’Ya Bapa Mertua, beri saya waktu untuk menelusuri, sehingga nanti akan bijak untuk mengambil kesimpulan, dan ngelingke Semar dan anak-anaknya,’’ jawab Puntadewa dengan penuh hormat. ‘’Khan perlu dicari siapa kelak yang paling bertanggung jawab jika memang akan menjadi persoalan yang runyam.’’
Mendapat jawaban itu, Drupada panjang lebar menasehati menantunya. Dikatakan, yang paling rawan adalah yang memberi surat tugas kepada para Punakawan. Kalau Semar dan anak-anaknya sebatas menjalankan tugas dasarnya adalah surat tugas dari pimpinannya.
Sampai disini dalam batin Puntadewa semakin gundah. Karena sejatinya dirinya sudah mendengar kabar, bahwa belakangan ini banyak wayang yang terus mengulik persoalan anggaran narasumber para punakawan yang jumlahnya cukup besar, yakni mencapai Rp 10 miliar.
Bahkan tabel penerimaan ke para punakawan juga sudah beredar luas, mulai angka Rp 500 juta lebih, Rp 400 juta dan terendah ada yang menerima Rp 281 juta.
Sesuai Aturan
Dengan nasehat yang panjang lebar itu Yudhistira masih terus diam. Sesekali memberanikan diri untuk bertanya kepada sang mertua, ‘’mohon maaf, itu sudah sesuai aturan. Kalau tidak ada aturan pimpinan Semar dan kawan-kawan tentu tidak berani, Mertua. “
Sementara mertuanya tidak membantah, Yudhistira dalam batin bertanya-tanya, apakah ini yang namanya jaman edan seperti yang digambarkan Pujangga Ronggowarsito, dalam bentuk tembang Sinom Serat Kalatidha.
Dalam tembang tersebut menggambarkan kegamangan sikap manusia dalam suasana yang dilematis, sehingga serba salah. Mau ikut-ikutan gila hati nuraninya menolak, tapi kalau tidak ikut tidak mendapatkan bagian. Sehingga tidak memiliki apa-apa. Namun atas kehendak Allah yang Maha kuasa, betapapun keberuntungan orang yang lupa, masih lebih baik dan beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.
Lagi-lagi Puntadewa semakin gundah dengan tabiat Semar. Mestinya Semar tidak hanya sebagai abdi, melainkan sebagai sosok yang selalu menebar humor untuk memecahkan ketegangan.
Bukankah, Semar konon berasal dari bahasa Arab yang artinya paku, dimana fungsinya sebagai penguat. Bentuknya yang bulat melambangkan tekad bulat untuk mengabdi kepada kebaikan dan kebenaran.
Jari kirinya selalu menunjuk, artinya dia memberikan petunjuk yang benar. Tangan kanannya menggenggam, yang artinya baik itu bersifat subjektif. Matanya setengah tertutup dan melihat ke atas yang dimaknai sebagai sosok idealis.
Mata sipit Semar menggambarkan orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah. Dagu dan mulutnya diikat dengan rantai sampai kaki yang mengandung makna segala ucapan manusia harus selaras dengan perilaku sehari-hari.
Semar juga memakai kuncung kencana sari yang berasal dari kata kun dan muncung atau muncul dan timbul, yaitu kunfayakun. Semar digambarkan sebagai figur yang sabar, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran, dan menghindari perbuatan tidak baik. Dalam perspektif spiritual dia memiliki watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak mudah kaget, tidak gampang heran, dan memiliki ketajaman batin serta kejeniusan.
Itulah sebabnya Semar dan tokoh Punakawan lainnya adalah Sang Pamomong para ksatria dan guru sejati. Guru sejati dalam konteks pengendali seseorang agar tetap berada di jalan yang benar. – Dari Berbagai Sumber