Dikemukakan, sesuai amanat Undang-undang, selain mampu secara ekonomi dan fisik, kesehatan, keselamatan, dan keamanaan jemaah haji harus dijamin dan diutamakan. Mulai dari embarkasi atau debarkasi, dalam perjalanan, dan juga saat di Arab Saudi.
Ditegaskan, bahwa keputusan pembatalan keberangakatan jamaah haji itu sudah melalui kajian mendalam. Pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi, dapat mengancam keselamatan jemaah. Agama sendiri mengajarkan, menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan. Ini semua menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan kebijakan.
Selain soal keselamatan, kebijakan diambil karena hingga saat ini Saudi belum membuka akses layanan Penyelenggaraan Ibadah Haji 1441H/2020M. Akibatnya, Pemerintah tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan persiapan dalam pelaksanaan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah. Padahal persiapan itu penting agar jemaah dapat menyelenggarakan ibadah secara aman dan nyaman.
”Waktu terus berjalan dan semakin mepet. Rencana awal kita, keberangkatan kloter pertama pada 26 Juni. Artinya, untuk persiapan terkait visa, penerbangan, dan layanan di Saudi tinggal beberapa hari lagi. Belum ditambah keharusan karantina 14 hari sebelum keberangkatan dan saat kedatangan. Padahal, akses layanan dari Saudi hingga saat ini belum ada kejelasan kapan mulai dibuka,” papar Menag Fachrul Razi.
Jika jemaah haji dipaksakan berangkat, ada risiko amat besar yaitu menyangkut keselamatan jiwa dan kesulitan ibadah. Meski dipaksakan pun tidak mungkin karena Arab Saudi tak kunjung membuka akses.
Pembatalan keberangkatan Jemaah ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia (WNI). Maksudnya, pembatalan itu tidak hanya untuk jemaah yang menggunakan kuota haji pemerintah, baik reguler maupun khusus, tapi termasuk juga jemaah yang akan menggunakan visa haji mujamalah atau furada.
“Jadi tahun ini tidak ada pemberangkatan haji dari Indonesia bagi seluruh WNI,” ujar Menag.