Dan Wibisono pun Nekad “Melawan” Si Bos Rahwana

oleh -366 Dilihat
oleh
Istimewa

” WIBISONO sama sekali tidak iri dengan kebijakan Bosnya, Rahwana. Hanya karena kebijakan itu, jangan-jangan ke depan nanti, banyak orang yang bersuara lantang menyalahkan Bos, melontarkan kata-kata yang maah tidak senonoh, lantas diberi jabatan, diberi kursi empuk. Ini khan akan menjadi preseden buruk di Alengka. ”

JAGAD pewayangan dihebohkan dengan sikap Wibisono, sosok ksatria yang menjunjung tinggi kebenaran, berani melawan (mempertanyakan) kebijakan Bos Rahwana yang notabene masih kakaknya sendiri. Usut punya usut, cukup panjang latar belakang kenapa kesatria yang akrab dipanggil Gunawan Kunta Wibisana dan tinggal di Kesatrian Parangkuntara itu menentang kebijakan Bos nya.

” Sebenarnya ada apa Dik Wibisana, kok begitu menggebu-nggebu menentang kebijakan Bos Rahwana. Mestinya sebagai saudara, kamu harus sabaya pati sabaya mukti,” ujar Kumbakarna yang sempat menemui Wibisana karena merasa terusik ramainya jagad medsos yang membullynya.

” Ketahuilah Mas Kumbakarna. Saya sebenarnya sangat sayang dengan Si Bos Rahwana. Hanya saja kebijakannya yang memberi kursi empuk kepada orang yang jelas memusuhi dan sering mengkatain dungu, goblok, yang membuat saya galau,” jawab Wibisono.

”Khan bisa dibicarakan baik-baik. Ini tidak lagi persoalan percintaan antara Rama dan Sinta hlo. Jangan-jangan kamu iri atau minta juga diperhatikan oleh Si Bos Rahwana.”

”Ini khan wayang jaman now Mas. Jangan disamakan dengan kejadian di cerita wayang pakem jaman dahulu”

”Maksudnya ?” tanya Kumbakarna.

Diketahui, dalam cerita wayang pakem, karena merasa tidak mendapat tempat di Alengka, Wibisana pergi bersama empat raksasa yang baik dan menghadap Rama. Dalam perjalanan ia dihadang oleh Sugriwa, raja wanara yang mencurigai kedatangan Wibisana dari Alengka.

Hanya setelah Rama yakin bahwa Wibisana bukan orang jahat, Wibisana menjanjikan persahabatan yang kekal dalam misi menghancurkan Rahwana, Wibisana banyak memberi tahu rahasia Alengka dan seluk-beluk setiap raksasa yang menghadang Rama dan pasukannya.

Termasuk Wibisana juga sadar apabila ada mata-mata yang menyusup ke tengah pasukan wanara, dan melaporkannya kepada Rama. Saat pasukan wanara berhasil dikelabui oleh Indrajit, Wibisana adalah orang yang tanggap dan mengetahui akal Indrajit yang licik.

”Lha itu, jangan-jangan kamu merasa tidak diperhatikan atau tidak mendapat kursi empuk di Alengka, lantas melawan kebijakan Bos Rahwana?” tanya Kumbakarna kembali

Baca Juga :  Dikatain Gerombolan Saja Kok Repot  !!

Panjang lebar Wibisono menyergah anggapan Kumbakarna, yang menuduhnya dirinya melawan kebijakan Si Bos lantaran faktor iri. Dikatakan, semua itu dilakukan karena tidak terima, Si Bos Rahwana telah memberi tempat, kursi empuk kepada orang yang jelas-jelas memusuhinya.

”Sama sekali saya tidak iri. Hanya karena kebijakan itu, jangan-jangan ke depan nanti, banyak orang yang bersuara lantang menyalahkan Bos, melontarkan kata-kata yang maah tidak senonoh, lantas diberi jabatan, diberi kursi empuk. Ini khan akan menjadi preseden buruk di Alengka?”

Dalam penjelasannya, Wibisono juga memohon agar Kumbakarna mengampuni kesalahannya, sebab telah berani menentang kebijakan Rahwana. Dia juga pasrah apabila Kumbakarna hendak membunuhnya.

”Bukan begitu Dik Wibisono. Terus terang saya salut dan tidak menyalahkan kamu. Kalaupun dulu saya harus melawan Rama karena terikat dengan kewajiban, demi membela wilayah,” Kumbakarna mencoba menjelaskan.

Mendapat penjelasan itu, Wibisana sadar, bawa Kumbakarna memang terpaksa maju berperang melawan Rama, meski dia sadar bahwa kebenaran ada dipihak Rama. Kumbakarna melawan Rama bukan karena benci Rama, hanya karena dia merasa wajib membela negaranya, Alengka.

”Lantas, saya harus bagaimana ? Mohon Maaf Mas Kumbakarna, keputusan saya menentang kebijakan Si Bos Rahwana sudah bulat lho.”

”Coba menghadap Bos Rahwana lagi, supaya tidak terjadi kesalahpahaman,” Kumbakarna mencoba memberi masukan.

” Nggak Mas, paling-paling juga diabaikan. Dijamin seratus persen saya tidak akan mendapat penjelasan yang memuaskan.”

”Jangan begitu, semua persoalan pasti ada solusinya. Siapa tahu setelah ngobrol empat mata, nanti akan jelas semuanya,” kali ini Kumbakarna tetap bersabar.

Dikemukakan Kumbakarna, menjelang Pilkada, anomali iklim terjadi di Alengka. Baik incumbent maupun wajah-wajah baru yang ingin menduduki tahta Alengka mengatur strategi untuk mendapat simpati rakyat. Celakanya, politikus-politikus kawakan berulah, untuk mendapatkan simpati, atau demi mencari bergaining yang ujung-ujungnya juga materi.

”Harus dipisahkan Mas Kumbakarna antara Pilkada dan kebijakan yang merubah pakem di Alengka. Saya tahu ini tidak persoalan cinta, namun karena kebijakan yang telah menyakiti banyak orang, diantaranya para pegiat LSM yang ada di Alengka,” sergah Wibisono.

Mendapati sikap Wibisono yang tetap atos dan tidak mau dinasehati, Kumbakarna pun diam seribu bahasa. Di alam lamunannya, dia teringat dengan kisah lama, yakni menuruti perintah Rahwana untuk perang melawan Rama, semata-mata karena membela tanah kelahiran. Bukan ingin membela kesewenangan Rahwana.

Baca Juga :  Ketika Semar dan Togog Debat Soal “ Kemaruk “

Alkisah, waktu itu, ketika semua raksasa yang dipilih menjadi senapati gugur di medan peperangan. Rahwana mengutus Indrajit untuk membangunkan Kumbakarna. Setelah mendapat perintah dari ayahnya. Indrajit segera menemui Kumbakarna di kediamannya.

Saat Indrajit tiba, Kumbakarna sedang tidur lelap. Walau sudah dibangunkan dengan berbagai cara, tetapi Kumbakarna tak juga kunjung bangun. Akhirnya Indrajit mendapat ide, ia mencabut bulu di jempol kaki Kumbakarna.

Sontak, Kumbakarna bangun dari tidurnya. Saat bangun, Kumbakarna melihat beraneka makanan lezat di hadapannya. Kumbakarna segera menyantapnya, dan tidak lama kemudian datanglah Rahwana.

Dengan sumpah serapah, Rahwana menyindir Kumbakarna dengan kata-kata yang menyakitkan hati, dan membuat Kumbakarna tertusuk perasaannya karena dianggap tidak berguna. Hati prajuritnya segera bergelora.

Kumbakarna pun serta merta menyudahi makannya dan berkata, “aku akan maju perang untuk melawan Ramawijaya dengan pasukannya. Tapi ingat-ingatlah, perangku ini bukan untuk membela tindakanmu yang keliru, melainkan untuk membela tanah kelahiranku, Alengka.”

Sampai disini, dalam hati Kumbakarna juga tidak menyalahkan dengan sikap Wibisono saat ini. Demi tanah kelahiran, dia nekad melawan Bosnya. Meski, Kumbakarna tidak sepaham dengan cara Wibisono melakukan perlawanan.

Kembali pikiran Kumbakarna melayang di jaman lampau. Waktu itu dirinya maju perang dengan menggunakan pakaian serba putih. Ia melakukan itu karena tahu dalam perang nanti dirinya pasti akan gugur menjadi tumbal Alengka.

Benar juga, Kumbakarna akhirnya gugur terkena panah sakti milik Ramawijaya. Wibisana pun menangis melihat kakaknya gugur sebagai pahlawan Alengka. ***

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.