Genap Berusia 274 Tahun, Blora Inginkan Jadi Kabupaten Organik

oleh -1188 Dilihat
oleh
Foto || dok

ADA sejumlah catatan positif untuk Kabupaten Blora di usianya ke -274 tahun.  Apalagi sosok Bupati yang saat ini menjabat, H. Arief Rohman, masih muda, inovasi, visioner dan jago lobi.  Sehingga wajar trend pembangunan di Blora cukup positif.

Tampaknya, setelah sukses menjalankan skema Gastrodiplomasi yang terbukti manjur untuk membangun Blora, kini giliran Blora mengincar sebagai kabupaten organik.

Blora selama ini dikenal sebagai salah satu pusat sumber energi di negeri ini,  selain sebagai penghasil kayu jati berkualitas terbaik di Indonesia. Hanya, karena sederet aturan yang ada, potensi unggulan itu tidak bisa maksimal untuk memajukan Blora secara pesat.

Tak kurang akal, Bupati Blora, H. Arief Rohman memanfaatkan potensi kuliner yang ada di Blora pun begitu dahsyat, mempunyai cita rasa otentik yang tidak ditemui di daerah lain, dimaksimalkan. Skema Gastrodiplomasi itu terbukti manjur.

Sebuah diplomasi publik dengan memanfaatkan kekayaan kuliner dengan tujuan membuat narasi makanan yang ada di Blora bisa dikenal oleh pejabat pusat (menasional).

Gastrodiplomasi ini memang unik, dengan memanfaatkan potensi kuliner yang ada Blora, seperti Lontong Opor Ngloram, Kopi Santan, Soto Kletuk Pak Galo, Sate Daman, dan Ayam Bakar Mak Gogok, dipakai untuk menjamu setiap pejabat pusat yang datang ke Blora. Sembari promosi kuliner yang ikonik itu, akan terjadi  dialog persuasif untuk mempengaruhi keputusan atau kebijakan pemerintah pusat demi memperhatikan Blora.

Strategi itu terbukti ampuh. Beberapa Menteri yang berkunjung ke Blora akan ketagihan datang ke Blora lagi untuk mencicipi kuliner yang ada. Ada Menteri Sekretaris Negara, Menteri PUPR, Menteri Perhubungan, Menteri Desa, Menteri LHK, Menteri BUMN, dll.

Diplomasi yang menggunakan instrumen makanan atau tata boga merupakan sebuah pemahaman lintas budaya. Pemahaman lintas budaya tersebut memiliki peran yang penting demi menindaklanjuti sebuah keputusan penting dalam rangka memajukan Blora.

Selain kepentingan diplomasi, gastrodiplomasi juga berperan penting untuk meningkatkan brand awareness Blora. Dengan membawa makanan atau tata boga ke dalam tataran diplomasi, semakin banyak  pejabat pusat, pengusaha, diaspora yang ingin mengulang datang ke Blora.

Followup-nya, ada banyak yang ingin berinvestasi di Blora, seperti mendirikan hotel dan melahirkan perhatian Pemerintah Pusat untuk Blora. Yang terbaru, pada 2023 Blora mendapat dana Inpres yang barangkali terbesar dibanding daerah lain di Jateng.

Dua ruas jalan di Blora Selatan, yakni Jalan Temulus (Randublatung) – Sumber (Kradenan), dan jalan Wulung (Randublatung) – Klatak (Jati), yang rusak bertahun-tahun sudah mendapat bantuan pembangunan dari pusat senilai hampir Rp 50 miliar.

Tidak hanya itu, jalan Randublatung – Getas yang dibangun dengan skema dana Inpres Rp 53 M berhasil dilaksanakan. Dan jika jalan ini sudah selesai,  nantinya terkoneksi dengan Ngawi, Jawa Timur, dan tidak menutup kemungkinan, lebaran tahun depan (2024) para pemudik sudah bisa jajal jalan Ngawi tembus Randublatung.

Untuk konstruksi jalannya, beton rigid ketebalan 25  Cm,  dengan tulangan tunggal. Semula lebar jalan antara 3 – 5 Meter akan  dilebarkan menjadi 6 M,  ada bahu jalan.

Belum lagi, ruas jalan Blora – Purwodadi juga mendapat anggaran inpres jalan sebesar Rp 156 Miliar dan di bulan September 2023 ini segera dibangun. Saat ini  pekerjaan tengah berjalan.

Komitmen Bupati Arief sejak di awal pemerintahannya, yakni salah satu  yang menjadi prioritas adalah pembangunan infrastruktur, memang benar-benar dijalankan.

Terbukti hingga saat ini sudah membangun jalan sepanjang 300 Kilometer lebih dengan anggaran mencapai 700 Miliar. Keberhasilan ini ditempuh dengan berbagai skema, mulai dana pinjaman, Banprov, APBD murni termasuk dana Inpres jalan.

Belum tuntas memang,  Bupati yang akrab dipanggil Mas Arief dengan gentle meminta maaf kepada masyarakat jika sampai saat ini ada beberapa ruas jalan yang masih rusak. Itu semua karena terbatasnya anggaran yang  menjadi sebab utama.

Meski belum semua terbangun, lanjutnya, pihaknya  minta warga bersabar. Sebab kendala utama yang ada adalah anggaran. Disampaikan, sejak awal dirinya menjabat dari 1.300 ruas jalan, yang rusak hampir 60 persen. Dan alhamdulillah saat ini sudah separuh berhasil tuntaskan.

Kabupaten Organik

Sukses menjalankan Gastrodiplomasi untuk membangun daerah, Blora kini berobsesi untuk menjadi Kabupaten Organik. Bupati Arief Rohman optimis jika mimpi Blora menjadi Kabupaten Organik akan menjadi kenyataan.

Alasannya, potensi Blora melimpah ( populasi sapi terbesar di Jawa Tengah ), tinggal bagaimana petani mempunyai tekad untuk bertani organik.

Praktik pertanian organik itu sudah dilakukan di beberapa Klomtan di Blora. Hasilnya cukup menjanjikan. Saat panen raya padi organik di lahan milik petani  Klomtan Sido Makmur, Desa Gondel Kecamatan Kedungtuban, hasil ubinannya 8,7 Ton.  Setelah diproses  menjadi beras  sekitar 4 Ton lebih. Jika dihitung,  dengan harga Rp 17.000/Kg,  maka per Hektarnya bisa menghasilkan hampir Rp 70 juta.

Untuk itu para petani diminta konsisten, dan menyadari bahwa untuk beralih ke pertanian organik butuh proses. Mungkin di tahun pertama, kedua, hingga tahun ketiga hasilnya belum maksimal.

Baca Juga :  Saatnya Kresna Habis-habisan Beri Nasehat ke Puntadewa

Cerita keberhasilan pertanian organik, juga ada di sejumlah desa di wilayah Kedungtuban lainnya. Seperti saat panen padi organik yang di  Desa Bajo, Ngraho, Sidorejo, Kecamatan Kedungtuban.  Rata-rata harga beras organik dari panenan itu bisa Rp 17.000/Kg.

Saat  panen padi organik di beberapa desa di Kedungtuban itu, ternyata  menghasilkan 8,4 Ton/Ha gabah kering panen dan setelah diproses  menjadi beras  sekitar 4,1 Ton lebih. Jika dihitung,  dengan harga Rp 17.000/Kg,  maka per Hektarnya bisa menghasilkan sekitar Rp 70 juta  lebih.

Banyaknya jumlah ternak sapi di Kabupaten Blora menjadi salah satu peluang emas untuk pengembangan pertanian organik tersebut memang. Disisi lain pertanian organik bisa menjadi solusi bagi para petani untuk tetap produktif, di tengah keterbatasan alokasi pupuk bersubsidi dari pemerintah pusat.

Dari berbagai survei, beberapa persoalan yang disampaikan masyarakat Blora, urutan pertama adalah soal pupuk, kedua infrastruktur jalan, dan ketiga air. Persoalan pupuk jadi hal yang mendominasi dari apa yang dikeluhkan, karena memang sebagian besar masyarakat bekerja  di bidang pertanian.

Solusinya, pertama petani membeli pupuk non subsidi,  kedua bagaimana  mempunya potensi bahan baku pupuk organik yang melimpah harus dimanfaatkan. Sehingga perlu  terobosan  agar para petani tidak tergantung pada pupuk bersubsidi.

Program Bupati Blora untuk menjadikan Blora sebagai Kabupaten Organik perlu didukung penuh. Gerakan petani organik harus dimassifkan. Perlu proses memang, hanya melihat kondisi tanah yang sudah tidak subur akibat penggunaan pupuk kimia, ketersediaan pupuk bersubsidi yang minim, tentu yang harus dipahami oleh para petani.

Semua butuh proses, di tahun pertama hasilnya mungkin belum maksimal. Dimungkinkan menginjak tahun ke empat hasilnya akan maksimal.

Kabar gembira, beras organik milik dua klomtan di wilayah Kecamatan Kedungtuban, Blora, masing-masing Klomtan  Jemari Agung, Desa Sidorejo, Kedungtuban, dan Klomtan Bina Alamsri Mandiri, Desa Bajo, kantongi sertifikat.

Momen ini dimanfaatkan oleh Pemkab Blora,  melalui DP4 akan terus kawal dam dorong semua desa di Blora untuk kembangan pertanian organik secara masif. Sejumlah Klomtan yang ada di Blora yang telah bertani organik dan mempunyai produksi, segera diurus sertifikatnya. Permintaan pasar juga sudah terus mengalir. Kondisi ini  sudah semestinya harus disambut dengan positif oleh para petani di Blora.

Ini pengalaman Bupati Arief yang bisa dipakai untuk mendorong semangat para petani di Blora untuk bertani secara organik. Sebagai pemimpin di Blora, Mas Arief terus mempromosikan beras organik  ke beberapa tempat.  Termasuk promosi ke banyak  diaspora yang ada di Jakarta dan di sejumlah kota lainnya. Ternyata minat untuk membeli beras organik produksi petani Blora terus mengalir dan meningkat.

Hasilnya, Bupati sering  ditelpon agar dipesankan beras organik dalam jumlah puluhan Kilogram. Ada yang pesan 50 Kg, 25 Kg dari banyak Diaspora. Ini artinya pasar sudah menyambut positif, dan ini harus diimbangi para petani untuk konsisten memproduksi beras organik itu. Karena permintaan pasar terus meningkat.

Ke depan, Mas Arief akan mewajibkan para Kepala Desa se -Blora punya demplot pertanian organik. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan mimpi Blora sebagai Kabupaten Organik segera terwujud.

Selama ini ploting Dana Desa (DD) untuk Ketahanan Pangan adalah 20 persen,  ternyata kebanyakan dana ketahanan pangan itu digunakan untuk membangun talud, dengan alasan supaya dana yang ada cepat terserap. Ke depan diharapkan sebagian bisa digunakan untuk demplot pertanian organik.

Inovasi Geseku

Cukup membanggakan, saat ini Blora telah mempunyai inovasi Gerakan Sejuta Kotak Umat  (GESEKU).  Dan saat ini Blora masuk 16 besar Kabupaten terinovatif se -Indonesia dalam penghargaan Innovative Government Award (IGA) 2023. Tidak menutup kemungkinan Blora bisa masuk 10 besar, atau prestasinya  diatas itu.

GESEKU merupakan gerakan masyarakat untuk memanfaatkan kotoran dari ternak  yang dimiliki Blora. Dalam inovasi itu, tujuannya kotoran ternak dimanfaatkan agar mempunyai nilai tambah ekonomi (menjadikannya sebagai pupuk organik).  Sehingga mampu memberikan kesejahteraan keluarga petani.

Terlebih dari itu,  cita-cita untuk mewujudkan Blora sebagai Kabupaten Organik, melalui inovasi GESEKU bukan tidak mungkin meski melalui proses akan tercapai. Dengan catatan, niatan membuat inovasi itu bukan sekadar prestise, menjelang   penganugerahan  penghargaan Innovative Government Award (IGA) 2023.  Melainkan, GESEKU benar-benar diwujudkan.

Apalagi jumlah populasi sapi di Blora menempati peringkat kedua terbanyak di Indonesia setelah Kabupaten Sumenep, Madura. Tercatat populasi sapi di Blora mencapai 260 ribu ekor lebih. Ini modal dasar yang luar biasa.

Menjadi sebuah keharusan, Bupati segera membuat Rencana Strategis (Renstra) di Dinas Pangan, Pertanian, Peternakan Dan Perikanan (DP4). Dimana di Renstra itu  berisi tentang pengembangan Sistem Pertanian Organik di sejumlah desa yang ada di Blora.

Di tahap awal, konstruksinya tidak harus semua desa, melainkan  ditentukan demplot, misal, minimal dua desa di masing-masing kecamatan yang ada. Dengan demikian ada 12 demplot di Kabupaten Blora.

Baca Juga :  Belajar Jadi Orang Sholih di Tahun Politik (Pilkada)

Satu hal yang diperlukan, adalah pondasi untuk mewujudkan renstra pengembangan sistem pertanian organik itu, yakni  perlu penyusunan peraturan-peraturan perundangan guna mendukung dan menjamin pelaksanaan program sesuai target.

Toh induk dari regulasi untuk itu semua sudah jelas, diantaranya adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64 Tahun 2013 tentang Sistem Pertanian Organik dan diberlakukannya SNI 6729: 2013 yang telah direvisi menjadi SNI 6729: 2016 tentang Sistem Pertanian Organik, Keputusan BPOM dan Peraturan Daerah (Perda).

Program desa organik tersebut diwujudkan dengan membentuk kawasan dimana lokasi atau hamparan kebun-kebun atau areal persawahan yang tergabung dalam kelompok tani organik berada pada satu desa atau kecamatan.

Dalam prakteknya, Pemkab tidak hanya membantu petani dalam penyediaan fasilitas sarana dan prasarana, melainkan juga memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan.

Beberapa pelatihan yang dilakukan adalah pelatihan pembuatan pupuk organik,  pembuatan pestisida organik/metabolit sekunder, pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL) dan produk-produk yang dapat membantu petani sebagai upaya mendukung terciptanya kebun organik di masing-masing kebun petani.  Tidak hanya itu, petani juga dibantu dan dibimbing dalam hal pemasaran produk organik.

Tidak mudah seperti membalikan tangan memang untuk mewujudkan Blora sebagai Kabupaten Organik. Dari beberapa literatur, berikut kendala-kendala yang harus dihadapi untuk mewujudkan komitmen Blora sebagai kabupaten organik.

Pertama, kendala sumber daya manusia (SDM). Hal yang paling sulit dilakukan adalah merubah pola pikir petani untuk menerima dan melaksanakan konsep pertanian organik.

Konsep serba instan dengan hasil yang maksimal, dengan pemanfaatan bahan-bahan kimia yang sudah melekat selama bertahun-tahun, sangat sulit untuk dirubah.

Mereka, para petani  sangat sulit menerima hal-hal baru, sehingga perkebunan mereka tidak berkembang. Pola pikir terhadap bantuan sarana dan prasarana yang diberikan pemerintah, juga setali tiga uang, sebagian petani masih menganggap bahwa bantuan tersebut hanya berlaku selama tahun berjalan, sehingga bantuan yang diberikan tidak dirawat dan tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Kedua,  adalah kendala produksi. Petani sulit menerima konsep organik karena beranggapan jika mengikuti program organik produksi akan menurun. Memang benar, pada tahun pertama dan kedua produksi akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena tanah yang tadinya sudah jenuh akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus, bila diolah dengan sistem organik, maka pemulihannya memerlukan waktu yang cukup lama.

Alhasil, banyak petani kembali menggunakan produk kimia seperti pupuk dan obat-obatan. Berbeda halnya bila petani konsisten melakukan pemupukan maka pada tahun ketiga produksi akan pulih kembali, bahkan meningkat jika dibandingkan dengan saat penggunaan pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik secara konsisten dan terus menerus menyebabkan tanaman tidak mengalami trek.

Ketiga, kendala pemasaran dan harga. Pemasaran produk organik dengan harga yang sesuai dengan harapan petani belum menemukan titik temu. Ada eksportir yang bersedia membayar harga lebih mahal tetapi dengan kuantitas tertentu. Hal ini sulit dipenuhi petani karena panen mereka masih sangat sedikit.

Untuk pemasaran dalam negeri biasanya terkendala dengan harga. Para pembeli masih menyamakan harga produk organic dengan produk non organik, sementara petani berharap harga lebih tinggi karena menganggap produk organik memiliki banyak kelebihan. Harga produk organik dan non organik masih dihargai dengan harga yang sama, sementara proses yang dilakukan lebih rumit dalam menghasilkan produk organik.

Keempat,  kendala soliditas anggota kelompok tani. Kendala ini merupakan kendala yang paling penting. Apabila petani tidak solid dan tidak kompak, maka program dan rencana kerja yang telah disusun tidak akan terlaksana dengan baik. Seringkali petani mengalami perpecahan dalam menyikapi suatu kondisi. Misalnya adanya bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah menimbulkan saling kecurigaan antara anggota kelompok dan biasanya berakhir dengan perpecahan.

Semua kendala yang ada itu merupakan tantangan besar bagi pemerintah untuk menjawab pertanyaan “Akankah pertanian organik berhasil?’’.  Harus dicari jalan keluar atau solusinya. Pembinaan dan pendampingan yang dilakukan pemerintah harus menciptakan suasana yang kondusif sehingga petani bisa fokus, responsif dan kolaboratif.  Selamat Ultah ke -274 untuk Kabupaten Blora, semoga tekad Sesarengan Membangun Blora Berkelanjutan akan mampu mensejahterakan seluruh warga yang ada.   ***

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.