Oleh : Daryanto
” TAK kalah memukaunya, panggung politik memiliki daya tarik meski dalam rasa yang berbeda. Dan tanpa kita sadari, seringkali kita menemukan diri kita terperangkap, sehingga tidak jarang kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan umum. Ingat, Jemarimu adalah Harimaumu yang siap untuk menerkamu sendiri. ”
HIRUK pikuk di tahun politik ini semakin “menarik” dan bagi sebagian orang seolah candu. Dan memang begitu realitanya, saya membenarkan omongan teman di salah satu grup WA, yang namanya panggung (hiburan maupun politik), dalam segala bentuknya, memiliki daya tarik yang luar biasa terhadap banyak orang. Dan ekstrimnya bisa membuat candu.
Panggung hiburan adalah salah satu yang paling jelas dalam menciptakan candu (ketagihan). Dalam panggung itu, kita melihat pertunjukan seni, drama, musik, dan hiburan lainnya. Cahaya sorot, penampilan memukau, dan cerita yang mendalam menyatu untuk menciptakan pengalaman yang tak terlupakan. Pertunjukan-pertunjukan seperti konser musik, atau acara olahraga besar mampu menciptakan dorongan adrenalin yang membuat kita ingin kembali lagi dan lagi.
Mereka (kemasan panggung hiburan) mengajarkan kita bahwa keindahan dan kebahagiaan bisa ditemukan dalam bentuk-bentuk seni yang berbeda, dan oleh karena itu, kita terus mencari pengalaman baru yang menghidupkan panggung itu.
Tak kalah memukaunya, panggung politik juga memiliki daya tarik meski dalam rasa yang berbeda. Dan tanpa kita sadari, seringkali kita menemukan diri kita terperangkap, sehingga tidak jarang kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan umum.
Bagi orang awam, yang tidak mempunyai kepentingan, sekedar mengingatkan saja, bahwa saat ini, di era digitalisasi, pepatah Mulutmu adalah Harimaumu kalah “mengerikan” dengan pepatah Jemarimu adalah Harimaumu. Hal itu disebabkan di era digital saat ini banyak orang berkomunikasi melalui media sosial. Seringkali kita alpa dan lupa diri sehingga rentan dengan jeratan hukum.
Jari-jari tangan bisa menjadi harimau yang siap menerkam diri sendiri. Itu bisa terjadi pada siapapun dan kapanpun jika tidak berhati-hati dalam mengungkapkan pikiran di media sosial.
Era saat ini orang tidak hanya bisa memfitnah langsung secara lisan, melainkan dengan tulisan-tulisan yang dibuat dan disebarkan di media sosial, berisi kalimat-kalimat negatif dan menjatuhkan.
Untuk itu sebuah petuah, agar jari-jari kita tidak menerkam diri kita sendiri, perlu kiranya kita untuk bermedsos yang bijak dan terhindar dari UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ingat, ternyata cukup besar kasus pidana yang menjerat warga menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Berbagai media memberitakan, di tahun 2021 ( Januari – September), Polri menerima sedikitnya 2.207 laporan atas tindak pidana yang memakai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kasus yang paling banyak dilaporkan itu adalah pencemaran nama baik secara daring, selanjutnya adalah kasus penipuan daring.
Sementara itu di tahun 2020, juga cukup besar kasus pidana yang menjerat warga menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Hingga 30 Oktober 2020, tercatat ada 324 kasus. Sebanyak 209 orang dijerat pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, 76 orang dijerat pasal 28 ayat 3 tentang ujaran kebencian, serta 172 kasus dilaporkan berasal dari unggahan di media sosial.
Perlu Diperangi
Dengan kecanggihan teknologi, orang bisa dengan gampangnya membuat berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian lainnya untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Ini perlu diperangi dan disosialisasikan kepada masyarakat semisal dengan cara mendeteksi mana berita hoax dan mana bukan agar masyarakat paham.
Standar untuk mendeteksi berita hoax, diantaranya judul yang berlebih-lebihan, sumber yang tidak jelas, sumber berita yang tidak dipercaya dan foto berita yang dimanipulasi.
Siapapun, perlu waspada dengan tidak gampang mempercayai berita-berita yang di dalamnya terdapat ciri-ciri tersebut. Termasuk tidak gampang menyebarkan berita atau berkeinginan menjadi yang pertama saja sehingga ikut menyebarkan berita bohong.
Karena sejatinya mengirimkan hoaks ke orang lain walaupun tujuannya untuk menanyakan kebenaran dari berita tersebut, sama saja sudah ikut menyebarkannya.
Ada tulisan menginspirasi di sebuah media nasional, untuk kita renungkan dan perlunya kita bijak untuk mengambil sikap di tahun politik ini. Inti dari cerita dari tulisan itu diawali dari pertanyaan, anda pernah naik travel khan ?
Bayangkan anda sedang naik travel, dan anda sedang tergesa-gesa. Tiba-tiba jalanan macet, dan tiba-tiba sang driver berinisiatif keluar jalur, zig-zag, menerobos, lawan arus, langsung merangsek ke depan. Hingga akhirnya, anda cepat sampai ke tujuan.
Misal ada pertanyaan, bagaimana perasaan anda? Senang ? Memujinya sebagai driver yang terampil ? Meski sebenarnya kita tahu dari kacamata kepentingan umum dan aturan, bahwa tindakan itu melanggar aturan dan bahkan membahayakan orang lain.
Namun bisa saja anda mengatakan suka dengan tindakan driver itu, karena anda berada di dalamnya, sehingga ada kepentingan kita yang terfasilitasi olehnya. Persoalannya, bagaimana jika anda bukan orang yang di dalam angkot itu? Pasti anda kesal bukan? dan lantas menyebut Sang driver ugal-ugalan.
Untuk itu perlu bijak dalam bersikap dan membenarkan barang yang salah, sebaliknya menyalahkan barang yang benar, karena kita mempunyai kepentingan. Ingin menangguk untung dibalik sikap itu misalnya.
Celakanya, kita terninabubukan dan tidak bisa memilah, sehingga terbawa arus untuk membuat, menyebarkan tulisan-tulisan yang dibuat dan disebarkan di media sosial, berisi kalimat-kalimat negatif, fitnah dan menjatuhkan.
Kewaspadaan menjadi sebuah keniscayaan di tahun politik seperti saat ini. Sehingga tidak gampang mempercayai dan menyebarkan berita atau tulisan bohong, fitnah dan menjatuhkan. Ingat jemarimu bisa saja bak harimau yang siap menerkam dirimu sendiri. ***