- Mengulik Desa Miskin di Blora Selatan
” SAAT mengulik angka kemiskinan di Desa Getas, Kecamatan Kradenan, Blora, sebuah desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Blora (Jateng) dengan Kabupaten Ngawi (Jatim), agak melongo. Bagaimana tidak, dari jumlah penduduk 4.222 jiwa, yang masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) mencapai 4.018. Dengan kata lain, hanya 204 warga yang tidak masuk DTKS. ”
SUDAH tidak jamannya lagi membahas jalan dari Kecamatan Randublatung ke Desa Getas, Kecamatan Kradenan, Blora, dengan jarak sekitar 19 Km, kondisinya sangat jelek. Meski sejatinya, jalur tersebut kondisinya parah.
Parah dimaksud, sebagian sudah berlumpur meski ada sisa-sisa aspal mengelupas dan bekas tatanan batu. Sebagian lagi, memang sudah bercor, namun kebetulan saat melintas jalan itu dalam kondisi hujan, karena ingin selamat, mengendarai mobil paling banter dengan kecepatan 20 km/jam. Karena kondisi jalan yang benar-benar jelek, kecepatan berkendara mobil lebih banyak dibawah 20 km/jam.
Justru yang perlu diketahui dan dibahas serta kemudian dicarikan solusi adalah, bagaimana mengentaskan kemiskinan di Desa Getas yang berpenduduk 4.222 jiwa, dimana sebenarnya secara ekonomi desa setempat adalah desa “kaya”. Diketahui, dari 48 desa di Blora yang masuk zona merah kemiskinan, satu diantaranya adalah Desa Getas.
Bagaimana tidak disebut “kaya” atau jika tidak berlebihan ya disebut desa mampu, menurut penjelasan Sekdes Getas, Budi Prayitna, mewakili Kades setempat, Subowo, di Desa Getas jumlah KK yang ada sekitar 1.458 KK, tetapi jumlah truk yang ada di desa setempat mencapai 350 unit.
‘’Ya memang, jumlah KK di Getas itu ada 1.458, tetapi jumlah truk milik warga yang ada di desa kami mencapai sekitar 350 unit,’’ tutur Sekdes Budi.
Usut punya usut, keberadaan truk di desa Getas ( 4 Dukuhan) yang mencapai 350 unit, seperti dijelaskan Budi, banyak warga di desanya yang berprofesi sebagai petani tebu. Dan truk-truk tersebut digunakan untuk angkutan saat panenan tebu.
Dengan memanfaatkan lahan Perhutani, lanjutnya, areal tebu milik warga cukup luas. Ukurannya, setiap kali panen raya, ada sekitar 2.500 rit tebu yang disuplai oleh petani tebu di Getas ke wilayah Ngawi dan sekitarnya. Nikmat mana yang tidak harus disyukuri oleh warga desa setempat.
Hanya saja saat mengulik angka kemiskinan di Desa Getas, desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Blora (Jateng) dengan Kabupaten Ngawi (Jatim), agak melongo. Bagaimana tidak, dari jumlah penduduk 4.222 jiwa, yang masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) mencapai 4.018. Dengan kata lain, 204 warga yang tidak masuk DTKS.
Kok bisa ? ’’Ya memang kenyataannya demikian. Dari 4.222 warga yang ada yang masuk DTKS ada 4.018. Meski saat ini kami tengah melakukan validasi data dan masih proses,’’ jelas Sekdes Budi Prayitna.
Sama kondisinya dengan yang ada di Desa Mendenrejo, bahwa bak buah simalakama saat akan mencoret warga yang masuk DTKS. Usut punya usut, dan dibenarkan oleh Sekdes, bahwa rata-rata warga keberatan jika dimasukan dalam DTKS terkait keringanan bayar listrik.
Disampaikan, bagaimana warga tidak keberatan dicoret dari DTKS, keringanan bayar listrik bagi warga miskin ternyata cukup besar. Dicontohkan Budi, seorang warga yang mestinya membayar rekening listrik Rp 350.000 setiap bulannya, dengan masuk keluarga miskin akan mendapat keringanan, sehingga hanya membayar listrik sekitar Rp 80.000 hingga Rp 90.000.
Kondisi tersebut, apapun akan menjadi kendala untuk program pengentasan kemiskinan di Desa Getas. Meski bukan berarti “kiamat”, atau tidak ada jalan terkait program 1 OPD satu desa dampingan yang merupakan pengejawantahan misi Bupati dan Wakil Bupati Blora Arief Rohman / Etik, yakni ngopeni kadang kekurangan di Blora.
Sama seperti di Mendenrejo, Baznas Blora juga mengucurkan bantuan sapi di Getas. Dan konon, seperti dituturkan Camat Kradenan, Nunik Sulistyo Herniyati S.Sos, terkait bantuan itu banyak warga yang semula enggan, kini peminatnya mencapai 50 orang. Sementara rencana bantuan sapi dari Baznas hanya sekitar 10 ekor.
Besarnya minat warga yang menginginkan bantuan tersebut dengan syarat mundur dari Program Keluarga Harapan (PKH), ini merupakan celah atau pintu masuk untuk mengurangi jumlah keluarga miskin di Desa Getas. Hal itu mestinya bisa menjadi bahan kajian pemerintah Kabupaten Blora dalam sudut pandang program pengentasan desa miskin di Blora.
Soal keringanan membayar listrik, merupakan program pemerintah pusat. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menangguhkan alias menggratiskan pembayaran tagihan listrik untuk masyarakat kategori rumah tangga miskin.
Kebijakan itu diambil guna mengurangi dampak ekonomi dari wabah virus corona atau Covid-19. Kendati demikian, tak semua warga miskin dapat listrik gratis dari pemerintah. Kebijakan Jokowi gratiskan listrik hanya berlaku untuk pelanggan berdaya listrik 450 VA. Karena banyak pula rumah tangga miskin merupakan pelanggan daya 900 VA. Syarat listrik gratis PLN bagi pelanggan daya 450 VA diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020.
Non Puskesmas
Kondisi lainnya, apakah ini terkait penyebab Desa Getas masuk kategori desa miskin atau tidak, hingga saat ini, sarana kesehatan yang ada di desa itu barulah Puskesmas Pembantu (Pustu). Beberapa waktu lalu Kades Getas, Subowo telah mengusulkan supaya ada pembangunan Puskesmas di desanya.
Kondisi itu, yakni di Getas baru ada Pustu juga dibenarkan oleh Kepala Dinkes Blora, Edy Widayat. ‘’Ya memang benar di Getas yang ada baru Pustu,’’ jelasnya.
Getas jauh dari Puskesmas Menden, jaraknya belasan kilometer dengan medan jalan yang sulit apalagi jika musim hujan, penerangan jalan juga minim. Menurut Kades Getas, adanya hanya Pustu itupun tidak ada dokternya.. Hanya ada perawat dan bidan desa .
Jika saja ada Puskesmas di Getas, selain untuk Desa Getas, juga bisa melayani Desa Nglebak, Megeri, Tlogotuwung, Bodeh, dan dukuhan lainnya yang jaraknya lebih dekat ke Getas daripada ke Puskesmas Menden ataupun Randublatung.
Disisi lain, menurut Bupati Arief Rohman, Desa Getas sangat strategis jika dirintis sebagai titik perekonomian baru di Blora Selatan karena terletak di jalur perlintasan antara Randublatung-Ngawi.
Kabarnya, Jl Randublatung – Getas sampai batas Ngawi akan dibangun dengan lebar jalan 8 Meter. Jika ini terlaksana, pintu masuk ke Blora akan terbuka dari segala penjuru.
Kembali ke pokok persoalan, apapun kondisinya pengentasan kemiskinan di Blora harus dilakukan, bahkan harus ada target waktu. Diketahui, Pemkab Blora punya target hingga 2026 angka kemiskinan turun menjadi 11,26 persen.
Jelasnya, hingga saat ini angka Kemiskinan di Kabupaten Blora mencapai 11,96% dari jumlah penduduk, dan terdapat 48 Desa Kategori merah. Angka kemiskinan di Kabupaten itu, menempatkan Blora di posisi ke-23 dari 35 Kab/kota di Jawa Tengah. Baru ada 1 desa di Kabupaten Blora yang berstatus Desa Mandiri.
Barangkali dari berbagai literatur yang ada ini, bisa dijadikan acuan bagi Pemkab Blora untuk pengentasan kemiskinan di Blora. Seperti, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan nasional pada Maret 2020 adalah Rp 454.652 per kapita per bulan. Padahal, garis kemiskinan Bank Dunia adalah 1,9 dollar AS per kapita per hari atau setara Rp 798.200 per bulan (kurs Rp 14.000).
Kalau rumah tangga terdiri atas empat orang, untuk kriteria Bank Dunia perlu minimal penghasilan Rp 3.192.800 per bulan agar tidak disebut rumah tangga miskin.
Menentukan jumlah orang miskin dengan kriteria pendapatan atau pengeluaran, sebenarnya sangat sulit. Pasalnya, banyak rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian tradisional atau informal dengan penghasilan yang tidak menentu.
Karena itu, dalam upaya mengentaskan orang dari kemiskinan perlu indikator kemiskinan, bukan hanya garis kemiskinan. Indikator dimaksud antara lain, status janda tanpa pekerjaan, pendidikan kepala rumah tangga, rendah kecilnya luas lantai rumah, tidak adanya fasilitas buang air besar.
Sementara dari aspek gizi dan makanan, indikatornya adalah konsumsi daging yang rendah sebaliknya konsumsi ikan asin tinggi, adanya anak balita bergizi buruk dan stunting. *)
Reporter : Muji
Editor : Daryanto